• Latest Stories

      What is new?

    • Comments

      What They says?

    ,

    Kompleks Uma Lengge yang berlokasi di desa Maria Utara Wawo Bima sudah sangat dikenal. Para wisatawan domestic maupun mancanegara sering berkunjung ke areal lebih kurang satu hektar tempat bangunan rumah tradisional Bima ini berdiri mengawal perubahan zaman. 

    Uma Lengge dan Jompa yang ada di lokasi ini mengundang perhatian setiap orang untuk mengunjunginya. Pada masa lalu, padi disimpan di Uma Lengge atau Uma Jompa untuk kebutuhan satu tahun.

    Penempatannya yang terpisah dengan rumah tinggal penduduk konon dimaksudkan untuk mencegah efek domino yang merugikan apabila terjadi bencana kebakaran. Dengan demikian, apabila rumah tempat tinggal penduduk terbakar, maka padi yang disimpan di dalam Uma Lengge atau Uma Jompa tidak akan ikut terbakar, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itulah, kompleks Uma Lengge di Desa Maria dibangun agak jauh dari pemukiman penduduk.

    Ada beberapa atraksi unik yang dapat anda saksikan di kompleks Uma Lengge. Atraksi ini telah menyatu dengan kompleks ini disamping upacara Adat Ampa Fare yang rutin dilaksanakan seusai panen.Berikut beberapa atraksi kesenian unik di kompleks Lengge Wawo yang biasa disuguhkan untuk para wisatawan.

    Atraksi ini dikenal juga dengan Adu Kepala. Merupakan tarian tradisional masyarakat Desa Ntori kecamatan Wawo yang sudah ada sejak abad ke-15. 

    Konon pada zaman dahulu, ada dua laki-laki yang berkelahi namun tidak ada yang kalah dan yang menang. Mereka tidak mempan oleh senjata. Mereka pun mencari cara lain yaitu dengan adu kekuatan kepala (Ntumbu). Sejak saat itulah Ntumbu berkembang menjadi sebuah seni tari tradisional yang memperkaya khasanah budaya Bima.

    Prosesi ini tergolong langka dan cukup mengharukan. Secara harfiah, Weha berarti Ambil, Nggahi berarti Kata atau ucapan. Weha Nggahi berarti mengambil Kata. Tapi secara filosofis, Weha Nggahi dikandung maksud meminta ijin kepada orang tua yang dilakukan oleh seorang gadis yang ingin menikah. 

    Prosesi ini biasa dialakukan pada detik-detik terakhir menjelang prosesi Akad Nikah. Contohnya adalah yang dilakukan calon pengantin wanita bernama susanti ini kepada ayahandanya Sahlan yang berlangsung di kelurahan Sadia Kota Bima.

    Setelah semua persiapan akad nikah dirampungkan dan calon pengantin wanita sudah dirias oleh Ina Ruka( Inang Pengasuh), penghulu/petugas pencatat nikah menghadirkan ayah bunda dari calon pengantin wanita ke Uma Ruka(Rumah Mahligai tempat merias pengantin). Calon pengantin wanita duduk bersimpuh di depan ayahandanya dan mengucapkan kata-kata penuh syahdu.

    “Ama, Mboto-mboto kangampu, mada raho kasi ade labo bareka ita, kanika pu mada labo la Dahlan.“

    (Ayahanda, saya datang bersumpuh dikakimu, ijinkan saya untuk menikah dengan Dahlan.)

    Permintaan calon pengantin wanita itu kemudian dibalas oleh Sang Ayah.

    “Iora Anae, nahu ma kanika nggomi labo la Dahlan.”

    (Kalau begitu keinginanmu, akan aku nikahkan engkau dengan Dahlan)

    Kemudian Calon Pengantin Wanita bersujud dan mencium tangan ayah dan bundanya. Di beberapa wilayah di Bima, prosesi ini kadang mengharukan. Tidak jarang orang-orang yang menyaksikan prosesi ini menitikan air mata keharuan. Weha Nggahi tentu bukan sekedar prosesi meminta ijin dan restu pada orang tua untuk menikah, tapi memiliki makna yang luas, bahwa pernikahan itu adalah perjalanan panjang penuh liku dan membutuhkan persiapan mental bagi yang melaluinya. Pernikahan itu adalah bahtera yang akan dijalani. Restu orang tua merupakan penuntun langkah bagi kedua pengantin dalam menjalani bahtera cinta dalam bingkai rumah tangga yang penuh dengan romantika kedepannya.

    Pembuatan Dodol atau yang dalam bahasa Bima disebut Kadodo telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Bima sejak nenek moyang. Di Bima makanan ini telah secara turun temurun dibuat oleh masyarakat di kecamatan Wera.

    Meskipun pembuatan Dodol semacam ini juga banyak dibuat oleh masyarkat di wilayah lainnya, tapi dodol yang terkenal adalah Kadodo Wera. Ada satu desa di kecamatan Wera yang orang-orangnya sangat ahli membuat Kadodo yaitu di desa Nunggi. Hingga saat ini keterampilan membuat Kadodo Wera masih tetap terwarisi, bahkan menyebar ke desa-desa lainnya di Wera.

    Pada masa lalu, pembuatan Kadodo hanya dilakukan pada saat ada hajatan seperti perkawinan, khatam Al-qur’an, khitanan dan lain-lain. Pembuatan Kadodo dilakukan secara gotong royong oleh warga diiringi musik tradisional Bima seperti Biola dan Gambo, Rawa Mbojo serta atraksi Gantaong.

    Sambil menonton dan menikmati musik dan permainan itu, para pembuat Kadodo memaruk kelapa, mengumpulkan kayu bakar, menggali Rubu (semacam tungku perapian yang digali terlebih dahulu untuk dimasukan kayu-kayu bakar). Sambil berpantun dan bersyair para pembuat Kadodo mengaduk Kadodo dengan Kayu Kosambi sepanjang satu meter yang memang telah disiapkan sebagai pengaduk Kadodo.

    Menurut Halimah (58 thn), salah seorang pembuat Kadodo asal desa Nunggi bahan pembuatan Kadodo Wera untuk sebuah perayaan dibutuhkan 10 kg tepung beras ketan, 50 batang gula merah, 30 butir kelapa, gula pasir, garam, dan bawang Goreng. Untuk membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit karena proses pembuatannya yang lama dan membutuhkan keahlian. 

    Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur bersama dalam Kuali yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk kerak.

    Oleh sebab itu, dalam proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.

    Untuk selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong dan dimakan.

    Selama ini pembuatan Kadodo Wera masih bersifat tradisional terutama pada saat hajatan saja. Pemasarannya pun nyaris tidak pernah dilakukan di luar kecamatan Wera. Perlu upaya pendekatan, fasilitasi dan sentuhan pemberdayaan terhadap para pembuat Kadodo Wera agar produk warisan leluhur ini mampu menerobos pasar. Seperti Dodol Garut dan dodol-dodol lainnya di tanah air.

    Jajan Bunga dan Jajan Cincin (Pangaha bunga dan pangaha sinci : Bahasa Bima) merupakan diantara sekian jenis makanan khas daerah Bima yang secara turun temurun di lestariakan hingga saat ini. Bahan-bahan kedua jenis jajan ini sangatlah sederhana. 

    Semua orang pasti bisa membuatnya jika mengetahui bahan dan cara pembuatannya. Tetapi belum tentu rasa yang di hasilkan se-nikmat rasa yang tercipta dari tangan para pembuat (pengrajin) asli. Tangan-tangan mereka telah terbiasa dan memiliki teknik-teknik yang mungkin tak di ketahui oleh orang lain.

    Marsita salah seorang Pengusaha Jajan Bunga yang telah cukup lama menekuni usaha ini mengatakan Pangaha Bunga buatannya banyak di minati masyarakat Bima maupun luar Bima seperti Sumbawa, Mataram, Denpasar dan Jakarta. 

    Rasa pangaha buatannya sangat enak dan gurih. Namun uniknya Marsita tidak menjajakan jualannya di pasar-pasar maupun di took-toko. Alasannya, Ibu paruh baya yang dalam proses pembuatannya di bantu oleh sang suami Arrahman M. Ali, SE ini menerima banyak psanan dalam setiap harinya sehingga tidak punya waktu untuk membuat lebih banyak lagi. 

    Biasanya Masita yang merupakan Sarjana Hukum ini membuat Pangaha Bunga paling sedikit jumlah bahannya 10 kg “itu jika tidak ada pesanan, orang-orang saja yang datang langsung membeli ke rumah. Tapi bila ada pesanan ia membuat Pangaha berbentuk bunga tersebut sebanyak 20 s/d 40 kg bahan. Apalagi kalau lebaran sampai 50 kg” ceritanya. Sementara harga jajan ini per buahnya 100. Tetapi jika ada orang yang ingin jajan tersebut lebih gurih maka akan ditambahkan telur bebek dalam adonannya.
     

    Satu lagi kuliner menarik dari Bima, yaitu Mina Sarua. Mina Sarua yang telah ratusan tahun menjadi warisan budaya dari nenek moyang warga dusun Sumbawa, Desa Bontokope, Kecaman Bolo.

    Minuman ini, bermanfaat sebagai obat atau biasa disebut minuman penghangat tubuh.

    Mina Sarua bukan hanya sekedar minuman. Bahan-bahan yang terkandung di dalamnya antara lain Tape ketan dan rempah-rempah.

    Pada musim hujan (dingin) minuman ini sangat baik untuk menjaga stabilitas tubuh, karena komposisinya mengandung bahan-bahan rempah alami.

    Proses pembuatan Mina Sarua berlangsung selama dua hari. Campuran beras ketan dan ragi akan di diamkan selama satu malam. Paginya rempah-rempah antara lain Jahe, Merica dan Lada, di goreng. Lalu beras ketan yang telah menjadi tape ketan itu di campur dengan rempah yang telah di goring. Kemudian di masak bersama santan kelapa dan siap di sajikan.

    Namun Mina sarua ini rasanya tidak nikmat tanpa pelengkap yaitu TaI Mina. TaI Mina ini dibuat terpisah dan berbahan dasar kelapa parut. Kelapa tersebut diolah dengan minyak dan campuran sedikit bumbu. Cara penyajiannya, Tai Mina dicampur atau di tabur dalam Mina Sarua.

    Mina Sarua berasal dari kata Minyak Saruang, berupa minyak oles yang berfungsi sebagai obat keseleo, sakit perut, masuk angin dan beberapa manfaat lainnya, yang pertama kalinya di racik oleh orang Sumbawa.

    Setelah beberapa orang Sumbawa itu merantau ke Bima, tepatnya di Wilayah Sila, merekapun membawa minyak Saruang untuk di perkenalkan pada warga setempat. Oleh orang-orang Bima, kemudian meracik obat tersebut menjadi minuman penghangat tubuh.

    Akhirnya bahan dasar rempah minyak Saruang di padu dengan tape ketan. Karena dialeg Bima yang pada umumnya tidak kesampean, maka secara gamblang saja Minyak Saruang berubah nama menjadi Mina Sarua.

    Timbu atau Lemang juga merupakan makanan khas dari Bima-Dompu.Pada masa lalu, pembuat Timbu tersebar hampir di seluruh wilayah Bima-Dompu. Wilayah Sila merupakan sentra pembuatan Timbu. Sedangkan di Dompu, hampir merata ke sejumlah wilayah. Namun saat ini, pembuat Timbu semakin berkurang. Yang masih tetap eksis adalah para pembuat Timbu di Dompu. Jika berkunjung ke Dompu anda akan menjumpai para penjual Timbu dan Tape Ketan di pasar Dompu pada sore hingga malam hari.

    Pengananan ini terbuat dari beras ketan yang dimasak dalam seruas bambu, setelah sebelumnya digulung dengan selembar daun pisang. Gulungan daun bambu berisi tepung beras dicampur santan kelapa ini kemudian dimasukkan ke dalam seruas bambu lalu dibakar sampai matang. Timbu lebih nikmat disantap hangat-hangat. Cara mengonsumsi Timbu memang berbeda-beda dari daerah ke daerah. Khusus di Bima-Dompu, Timbu lebih nikmat disantap dengan Mina Sarua atau tape ketan. Di Sila, Timbu disantap dengan Mina Sarua sedangkan di Dompu disuguhkan dengan Tape Ketan.

    Diperlukan waktu sekitar dua sampai dua setengah jam untuk memasak beras ketan dalam bambu itu dengan api yang sedang, sebelum dibakar dengan tungku khusus yang terbuat dari besi atau kayu yang keras. Pertama –pertama menyediakan beras ketan yang sudah direndam selam lima sampai enam jam dengan menggunakan air bersih, setelah beras direndam, kemudian dikeringkan hingga airnya terkuras habis. Setelah itu, beras yang sudah kering tersebut siap dimasukkan kedalam potongan bambu. Sebelum beras dimasukkan kedalam bambu, harus dipastikan bambu sudah tercuci bersih dengan air bersih. Barulah beras dimasukkan kedalam bambu tua yang berukuran sedang.

    Sebelum memasukkan beras, bambu tersebut dilapisi dengan daun pisang muda yang sudah bersih. Proses terakhir adalah dengan memasukkan santan dengan campuran garam secukupnya. Proses memasak Timbu tersebut dilakukan dengan lebih dahulu menyiapkan tungku yang berbentuk panjang segi empat dengan ukuran sesuai dengan kebutuhan. Memasak Timbu tidak seperti membakar ubi kedalam bara api yang sedang berkobar. Cukup dengan menyangai dengan api yang sedang. selama pembakaran diperlukan beberapa tahap untuk mengalih atau memutar bambu tersebut dengan tujuan supaya beras ketan masak dengan sempurna dengan waktu lebih kurang dua jam.(*alan)


Top