• Latest Stories

      What is new?

    • Comments

      What They says?

Sambori

Orang Sambori, adalah komunitas masyarakat yang termasuk bagian dari suku Bima, yang berdiam di desa Sambori kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat. Populasi orang Sambori diperkirakan sekitar 800 orang.

Orang Sambori memiliki keunikan tersendiri baik dari sisi sejarah maupun budayanya. Salah satu dari keunikan itu adalah bahasa yang dituturkan berbeda dengan bahasa Bima. Dikatakan unik, bahwa orang Sambori sendiri disebut juga sebagai suku Bima, tetapi memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa Bima pada umumnya. Orang Sambori berbicara dalam bahasa Sambori, yang dikatakan merupakan dialek bahasa Bima, tapi bisa dikatakan dialek apabila terdapat persamaan 50% sampai 80%, tapi bahasa Sambori justru perbedaannya yang mencapai 80% dengan bahasa Bima. Jadi bisa dikatakan bahasa Sambori adalah bahasa yang berbeda dengan bahasa Bima.

Bahasa Sambori menyebar di sejumlah kampung dan desa yang ada di gugusan pegunungan La Mbitu di tenggara Kota Bima seperti di desa Tarlawi, Kaboro, Teta, Kalodu, Sambori, Kadi dan Kuta. Desa-desa ini masuk dalam wilayah kecamatan pemekaran La Mbitu, kecuali desa Tarlawi yang masuk dalam wilayah kecamatan Wawo karena jaraknya sekitar 7 km dari Wawo serta desa Kalodu yang masuk wilayah kecamatan Langgudu.

Masyarakat di desa-desa di atas dalam sejarah Bima dijuluki dengan Dou Donggo Ele. Sedangkan masyarakat dan desa yang berada di gugusan pegunungan Soromandi di sebelah barat teluk Bima disebut Dou Donggo Ipa. Masih perlu peneilitian lagi terkait dengan bahasa Dou Donggo Ipa ini. Apakah bahasa mereka juga sama dengan Bahasa Donggo Ele. Sebab dari penuturan masyarakat di sana, terdapat sedikit perbedaan antara bahasa Donggo Ele dan bahasa Donggo Ipa. Ada yang berpendapat bahasa Sambori adalah merupakan bahasa asli suku Bima, atau merupakan bahasa nenek moyang suku Bima, yang sekarang masih tersimpan dalam masyarakat Sambori.

Orang Sambori dikelompokkan ke dalam bagian suku Bima, tetapi ada anggapan bahwa orang Sambori termasuk bagian dari suku Donggo. Tidak bisa dipastikan mana yang benar, karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai ini.
Apabila dilihat dari kebiasaan, tata kehidupan, budaya dan bahasa, sepertinya orang Sambori bisa dikatakan sebagai etnis tersendiri, yang berbeda dengan etnis-etnis lain di Nusa Tenggara Barat ini. Tetapi sampai saat ini orang Sambori lebih suka menyebut diri mereka sebagai orang Bima.

Pakaian adat masyarakat Sambori berbeda dengan pakaian adat suku Bima-Dompu pada umumnya. Masyarakat Sambori tampil berbeda, yang terlihat dalam pakaian sehari-hari. Laki-laki dewasa biasanya memakai Sambolo (ikat kapala) yang terbuat dari kain kapas tenunan dengan hiasan kotak-kotak berwarna hitam atau putih. Dipadu dengan baju Mbolo Wo’oatau, yaitu baju tanpa kerah yang terbuat dari kain katun dberwarna hitam atau putih.

Orang Sambori memakai sarung yang disebut Tembe Me’e (sarung hitam) khas Sambori dipintal dan ditenun dari bahan kapas berwarna hitam. Dipakai dengan cara dililit pada bagian perut. Kemudian mereka memakai aksesoris Weri atau Bala (kain ikat pinggang) yang diselempangkan melingkar pada bagian perut sampai di atas paha, yang berrfungsi untuk menguatkan lilitan sarung.

Sedangkan para perempuan dewasa, memakai baju Poro Me’e, yang terbuat dari kain katun dengan bentuk menyerupai baju Poro pada pakaian adat masyarakat Bima umumnya. Sarung memakai Tembe Me’e, dibuat agak panjang karena cara memakainya yaitu dengan cara dimasukkan secara lurus melalui kepala atau kaki. Kemudian dibiarkan lepas sampai ke betis, sekedar pelengkap mereka mengenakan Kababu,yang diselempangkan pada bahu. Untuk rambut ditata dengan membuat semacam ikatan yang dibentuk meninggi di atas kepala yang disebut Samu’u Tu’u.

Masyarakat desa Sambori mayoritas memeluk agama Islam. Menurut mereka agama Islam masuk ke dalam masyarakat Sambori, dibawah oleh seorang ulama dari Ternate yang bernama “Syekh Subuh”. Karena ulama ini tiba di Sambori pada saat Subuh. Maka Syekh inipun dikenal dengan nama Syekh Subuh. Makam Syekh Subuh berada di atas puncak gunung Sambori, yang dianggap sebagai kuburan keramat.

Masyarakat Sambori memiliki kebiasaan mengunyah daun sirih. Kebiasaan ini dikarenakan suhu dan udara di desa sambori sangat dingin, sehingga untuk melawan udara dingin, mereka mengunyah daun sirih yang dicampur dengan beberapa ramuan sehingga badan menjadi hangat.

Masyarakat Sambori rata-rata bekerja sebagai petani. Sehari-hari mereka sudah mengenal bercocoktanam sejak zaman nenek moyang. Mereka memiliki ladang dan kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sumber : protomalayans.blogspot.com

About Unknown

Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.

Tidak ada komentar:

Leave a Reply


Top